• Pendahuluan
Isu penolakan transmigrasi dan rekening dormant menjadi dua sorotan utama publik di Indonesia sepanjang bulan Juli 2025. Pemerintah pusat menghadapi tantangan besar dari dua arah: dari dunia perbankan karena kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh PPATK, dan dari wilayah Kalimantan akibat penolakan keras masyarakat adat terhadap program transmigrasi baru.
Kedua isu ini muncul hampir bersamaan dan memicu reaksi luas di media sosial maupun aksi massa di lapangan. Mereka menjadi gambaran nyata tentang bagaimana kebijakan nasional bisa berbenturan dengan kepentingan warga jika tidak disampaikan secara inklusif dan transparan. Artikel ini membahas secara lengkap perjalanan dua isu tersebut, termasuk dampak sosial dan rekomendasi solusi jangka panjang.
• Kronologi Pemblokiran Rekening Dormant dan Dampaknya
Kebijakan blokir massal terhadap rekening dormant diumumkan PPATK pada 12 Juli 2025. Lembaga ini menyatakan bahwa sekitar 122 juta rekening dinyatakan tidak aktif dan berpotensi disalahgunakan untuk pencucian uang atau aktivitas ilegal. Langkah itu, menurut mereka, adalah bagian dari pembersihan sistem keuangan nasional.
Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Banyak nasabah, terutama pelaku UMKM dan masyarakat menengah, merasa dirugikan karena rekening mereka diblokir tanpa pemberitahuan lebih dulu. Tagar #RekeningSayaAktif bahkan sempat jadi trending selama empat hari berturut-turut.
Dalam isu penolakan transmigrasi dan rekening dormant, kebijakan ini menjadi bagian dari keresahan publik tentang kendali negara terhadap kepemilikan pribadi. Pemerintah akhirnya membuka kembali akses rekening secara bertahap setelah proses verifikasi nasabah selesai, namun citra lembaga keuangan publik sempat terganggu.
• Penolakan Transmigrasi oleh Masyarakat Adat Kalimantan
Di saat yang hampir bersamaan, masyarakat adat dari Kalimantan Timur, Tengah, dan Barat menggelar aksi besar-besaran menolak program baru transmigrasi yang dinilai mengancam hak atas tanah adat mereka. Protes ini bukan sekadar sentimen lokal, melainkan gerakan nasional yang menuntut keadilan ruang hidup bagi komunitas asli.
Aksi long march dan orasi digelar di berbagai kota, terutama di wilayah konsesi lahan yang rencananya akan dijadikan permukiman transmigran. Spanduk-spanduk berisi pesan “Tanah Adat Bukan untuk Dipindah” dan “Transmigrasi = Penggusuran Modern” membanjiri media sosial dan jalanan.
Dalam konteks penolakan transmigrasi dan rekening dormant, masyarakat adat merasa negara kembali mengabaikan suara mereka. Mereka menuntut moratorium terhadap program transmigrasi hingga ada mekanisme konsultasi publik yang benar-benar menghormati nilai-nilai adat dan hukum lokal.
• Penyatuan Dua Isu: Ketidakpercayaan dan Kedaulatan Publik
Meski terlihat berbeda, isu penolakan transmigrasi dan rekening dormant memiliki akar yang sama: ketidakpercayaan terhadap tata kelola negara. Dalam kasus rekening dormant, masyarakat merasa hak finansial mereka bisa diintervensi secara sepihak. Dalam kasus transmigrasi, ruang hidup komunitas adat dianggap bisa ditentukan dari pusat tanpa dialog yang adil.
Kombinasi dua kebijakan ini memunculkan atmosfer ketegangan antara warga dan institusi pemerintah. Masyarakat mempertanyakan sejauh mana negara melindungi atau justru mencampuri hak-hak dasar warga.
Sejumlah akademisi menyarankan pemerintah memperkuat pendekatan partisipatif dalam perumusan kebijakan. Pendekatan top-down tidak lagi efektif di era keterbukaan informasi saat ini. Isu penolakan transmigrasi dan rekening dormant seharusnya jadi pelajaran tentang pentingnya mendengar suara publik.
• Penutup: Peluang Perbaikan Tata Kelola Publik
Sebagai penutup, penolakan transmigrasi dan rekening dormant bukan sekadar kontroversi musiman. Ini adalah cermin besar bahwa tata kelola publik masih punya PR besar dalam soal komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas. Negara perlu mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis data dalam membuat keputusan yang berdampak luas.
Langkah-langkah perbaikan seperti membangun sistem notifikasi digital sebelum pemblokiran rekening, serta menciptakan forum dialog antara kementerian dan masyarakat adat adalah langkah awal yang krusial. Pemerintah juga harus menghindari kebijakan copy-paste tanpa memahami konteks lokal.
Jika dikelola dengan bijak, isu penolakan transmigrasi dan rekening dormant justru bisa menjadi batu loncatan menuju tata kelola yang lebih demokratis dan berpihak pada rakyat. Karena dalam demokrasi yang sehat, keputusan tidak boleh hanya turun dari atas—ia harus tumbuh dari bawah.
Referensi:
-
2025 in Indonesia – Wikipedia