Mengapa Gerakan Gagal Bayar Pinjaman Online Merugikan

Mengapa Gerakan Gagal Bayar Pinjaman Online Merugikan

Ringkasan Berita

  • OJK meminta masyarakat tidak melakukan langkah-langkah untuk sengaja tidak membayar utang pinjaman online.

  • OJK meminta penyelenggara pinjaman online memperkuat manajemen risiko dan memperketat penilaian kredit dengan menerapkan electronic Know Your Customer (e-KYC)..

  • Gerakan gagal bayar pinjol dinilai merugikan industri karena merusak kepercayaan investor dan menghambat akses pembiayaan bagi peminjam yang benar-benar membutuhkan.

Gerakan gagal bayar pinjaman online atau dikenal dengan galbay pinjol belakangan makin marak di media sosial. Seruan untuk sengaja tidak melunasi tagihan pinjaman muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik penagihan yang dinilai meresahkan. Namun gerakan tersebut dinilai merugikan industri dan masyarakat.

Salah satu kampanye muncul melalui tagar #aksigagalbayar di beberapa grup Facebook yang menyoroti bunga yang dianggap mencekik hingga dugaan penyalahgunaan data pribadi oleh sejumlah platform, terutama pinjol ilegal. Sebuah grup bernama Komunitas Pinjol Gagal Bayar Se-Indonesia 2022/2025 bahkan telah memiliki lebih dari 20 ribu anggota.

Fenomena ini turut berdampak negatif terhadap industri pinjaman daring (pindar) yang legal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa risiko gagal bayar kini makin membayangi pinjaman online.

Hingga akhir April 2025, pembiayaan pinjaman online berbasis peer-to-peer (P2P lending) tumbuh 28,72 persen secara tahunan (year-on-year) menjadi Rp 80,94 triliun. Meski tumbuh, tingkat kredit bermasalah (TWP90) juga meningkat, dari 2,77 persen pada Maret menjadi 2,93 persen pada April.

“OJK mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas pendanaan dari penyelenggara pindar, termasuk agar tidak melakukan langkah-langkah untuk sengaja tidak membayar utang terhadap penyelenggara pindar,” ujar pelaksana tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, dalam keterangan resmi, Kamis, 19 Juni 2025.

OJK juga meminta penyelenggara pinjaman daring memperkuat manajemen risiko dan memperketat penilaian kredit atau credit scoring. Caranya dengan menerapkan prinsip kapasitas membayar dan electronic Know Your Customer (e-KYC), sebagai dasar pemberian pendanaan. Langkah ini untuk memperkuat mitigasi risiko terhadap pemberi dana (lender) dan peningkatan jumlah penerima dana (borrower) yang tak membayar atau gagal bayar.

Instruksi tersebut sejalan dengan Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini menekankan bahwa penyelenggara pinjaman wajib menilai kelayakan pendanaan atau credit scoring serta memastikan kesesuaian antara jumlah pinjaman yang diajukan dan kemampuan finansial peminjam.

Selain itu, penyelenggara pinjaman daring dilarang memfasilitasi pendanaan kepada peminjam yang telah menerima pembiayaan dari tiga penyelenggara pinjaman lain, termasuk dari platform milik penyelenggara itu sendiri. Ketentuan ini bertujuan mencegah peminjam terlilit utang berlebihan dan menjaga kesehatan industri fintech lending secara keseluruhan.

Pelaku industri menilai gerakan ini sangat merugikan industri fintech P2P lending karena bisa merusak kepercayaan investor dan menghambat akses pembiayaan bagi peminjam yang benar-benar membutuhkan. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pun aktif melawan kampanye ini.


Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menyatakan fenomena gagal bayar pinjaman online kini tengah marak di kalangan anak muda. Ia berharap pelaku yang menyebarkan ajakan untuk tidak membayar pinjaman dapat ditindak tegas.

AFPI telah melaporkan hal ini kepada OJK, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta berkoordinasi dengan kepolisian untuk menindak penyebaran ajakan galbay di media sosial. “Pihak yang mengajak masyarakat tidak bayar atau galbay di YouTube, di media sosial, dan sebagainya, kami lagi diskusikan dengan kepolisian,” ujar Entjik di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Jumat, 13 Juni 2025.

Selain itu, AFPI mendorong peningkatan literasi keuangan digital dan pentingnya berdisiplin dalam pengembalian pinjaman. Asosiasi mendukung penggunaan sistem pencatatan kredit, seperti Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK dan Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil), untuk memperkuat proses penagihan serta memberikan efek jera.

Sejumlah ekonom menilai maraknya gerakan gagal bayar pinjaman online berisiko mengancam stabilitas sektor fintech lending secara makro. Peneliti dari lembaga kajian Next Policy, Shofie Azzahrah, mengatakan gerakan gagal bayar pinjaman online berisiko menurunkan pengembalian investasi, memicu kerugian modal, serta bisa mengikis kepercayaan investor dan konsumen.

“Jika dibiarkan, lonjakan kredit macet dapat mengganggu likuiditas dan menekan penyaluran pembiayaan ke masyarakat kecil, hingga berujung pada tekanan sistemik terhadap perekonomian nasional,” ujar Shofie kepada Tempo, Kamis, 19 Juni 2025.

Krisis kepercayaan yang timbul akibat tingginya risiko gagal bayar bisa memicu penurunan pendanaan ke sektor fintech. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi serta usaha mikro, kecil, dan menengah terancam terganggu karena masyarakat bawah kehilangan akses ke sumber dana produktif.

Shofie menuturkan tren gagal bayar tidak hanya mencerminkan lemahnya disiplin finansial peminjam, tapi juga menunjukkan kelemahan desain sistem pinjaman online itu sendiri. Banyak masyarakat gagal membayar karena bunga tinggi yang mencapai 0,3 persen per hari atau lebih dari 100 persen per tahun, ditambah berbagai biaya tersembunyi.

Rendahnya literasi keuangan membuat peminjam sering tidak memahami total kewajiban yang harus ditanggung sehingga jumlah cicilan melebihi kemampuan bayar.

Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti lonjakan penyaluran pinjaman melalui P2P lending yang tumbuh tiga kali lebih cepat dibanding kredit perbankan sebagai cerminan memburuknya daya beli masyarakat. Hal itu juga tecermin dari besarnya porsi pinjaman daring yang bersifat konsumtif.

Berdasarkan data OJK per April 2025, outstanding pembiayaan layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI) atau pinjaman daring mencapai Rp 80,94 triliun. Dari jumlah tersebut, pembiayaan untuk sektor produktif dan UMKM tercatat hanya sebesar 35,38 persen atau sekitar Rp 28,63 triliun.

Menurut Awalil, jika gerakan gagal bayar terus meluas, bukan hanya industri fintech yang terancam. Risikonya juga bisa menjalar ke sektor perbankan. Sebab, sebagian besar sumber pembiayaan operator pinjol berasal dari perbankan.

Selain itu, biaya pendanaan secara umum memang tinggi, dipengaruhi oleh BI Rate, yield Surat Berharga Negara, dan Surat Redistribusi Bank Indonesia. Faktor-faktor ini turut menyebabkan bunga pinjol yang tinggi, selain premi risiko yang besar.

Ia menekankan pentingnya keseriusan regulator, seperti OJK dan Bank Indonesia, dalam menciptakan ekosistem pinjaman online yang kondusif. Di satu sisi, bunga dan biaya pinjaman yang dikenakan memang terlalu tinggi. Namun, di sisi lain, peminjam tidak bisa dipandang semata-mata sebagai korban karena berbagai syarat pinjaman sudah harus dipahami dan diwajibkan untuk transparan oleh regulator.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengimbuhkan bahwa fenomena gagal bayar pinjaman online juga mencerminkan kondisi utang masyarakat yang sudah melebihi kemampuan membayar. Pada akhirnya, daya beli tertekan dan kualitas konsumsi rumah tangga memburuk.

Menurut dia, gerakan ini menjadi peringatan bagi pelaku fintech lending untuk lebih berhati-hati dalam merancang produk dan menilai kelayakan nasabah, mengingat literasi keuangan masyarakat masih rendah dan kerap dipengaruhi tekanan kebutuhan mendesak.

Wijayanto tidak melihat gerakan gagal bayar pinjol akan berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional karena nilai pinjaman yang belum terlalu besar. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa tren ini bisa merusak ekosistem fintech yang telah dibangun bertahun-tahun.

Ia menyarankan agar pemerintah meningkatkan literasi keuangan publik, meninjau ulang desain produk fintech yang berisiko, serta menjatuhkan sanksi tegas terhadap platform yang melanggar ketentuan.

Wayne Robinson Avatar
No comments to show.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua.

Insert the contact form shortcode with the additional CSS class- "bloghoot-newsletter-section"

By signing up, you agree to the our terms and our Privacy Policy agreement.